Kamis, 04 Desember 2008

Penyengat



SAAT menjadi pembicara dalam seminar bertema Mencari Format Pengembangan Seni Budaya Kepulauan Riau dalam rangkaian acara Bintan Festival Art di Tanjung Pinang, akhir bulan lalu, Penjabat Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah menjanjikan untuk menghidupkan kembali Pulau Penyengat.

Dia juga berjanji menyerahkan pengelolaan pulau itu kepada otorita khusus agar pengembangannya bisa lebih optimal. Semula, pulau itu masuk dalam wilayah administratif Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.

“Pulau Penyengat harus menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Melayu, bahkan seharusnya bisa menjadi warisan dunia. Karenanya, kita harus menghidupkan kembali jejak-jejak kebesaran yang masih ada di pulau tersebut. Untuk mengoptimalkan pengelolaannya, kami akan membuat badan otorita khusus di pulau itu,” katanya.

Menurut Ismeth, upaya menghidupkan kembali khazanah pendidikan dan budaya di Pulau Penyengat merupakan gerbang awal untuk mengembangkan kebudayaan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang baru terbentuk awal tahun ini.

Sebelumnya, Ismeth Abdullah mengatakan, Pemerintah Provinsi Kepri berencana memugar bangunan-bangunan tua peninggalan Kerajaan Melayu Riau-Lingga abad XVIII sebagai khazanah kebudayaan Melayu kuno yang terwariskan. “Pulau Penyengat bisa dijadikan daya tarik obyek wisata bagi dunia luar hingga bisa menjadi pemasok pendapatan asli daerah,” kata Ismeth Abdullah.

JANJI-janji Ismeth itu seakan menghidupkan kembali harapan masyarakat Melayu terhadap kebangkitan Pulau Penyengat. Namun, akankah kejayaan itu bisa kembali lagi ke Pulau Penyengat?

“Kadang, kami bertanya, adakah kemerdekaan ini bisa membawa kejayaan budaya kita lagi? Pulau Penyengat telanjur memiliki sejarah besar, tetapi kami malu jika hanya menyandang nama besar saja. Semoga upaya pemerintah yang baru untuk mengembangkan pulau ini bukan sekadar janji-janji semu,” kata Raja Malik, salah seorang keturunan Raja Ali Haji.

Ketua Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau Hoesnizar Hood berharap, pengelolaan Pulau Penyengat ke depan tidak terfokus pada kegiatan wisata saja. “Eksplorasi kawasan secara berlebihan untuk kepentingan wisata biasanya merusak karakter yang ada. Sebaiknya, Pulau Penyengat bisa dikembangkan menjadi pusat pendidikan dan budaya dengan mendirikan sekolah-sekolah di sana,” katanya.

“Jejak-jejak bangunan fisik di Pulau Penyengat sebagian besar telah musnah. Memang perlu juga merekonstruksi lagi jejak-jejak itu sebagai sebuah penanda. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah bagaimana menghidupkan kembali kehidupan intelektual di sana, karena itulah yang menjadi kunci kebesaran pulau itu.”

Menurut Sutardji Calzoum Bachri, sastrawan asal Kepulauan Riau, pintu gerbang untuk mengembalikan kejayaan kebudayaan Melayu adalah melalui pendidikan seni dan budaya. “Harus ada regenerasi, dan itu hanya bisa dilakukan melalui pendidikan. Siswa-siswa sekolah tidak harus lulus, tetapi saya yakin kalau siswa diberi pendidikan seni tradisi yang ketat, mereka pasti memberontak. Dan pemberontakan itu menjadi gerbang proses kreativitas mereka,” katanya.

Sutardji juga mengatakan, pendidikan akan mendorong terbentuknya apresiator terhadap karya-karya seni. Kesenian tanpa apresiator akan sia-sia saja. Pendidikan akan menumbuhkan komunitas yang sadar dengan nilai seni dan budaya.(AIK)

Tidak ada komentar: